Kisah Nabi Musa AS,
kisahnya selalu ingin ku simak jika ku menjumpainya di suatu surah alqur-an
Dia, yang tak fasih berbicara.
Musa yang kisahnya berulang-ulang kali di sebut,
mengemban risalah dalam keadaan yang cukup berat.
Dia tak fasih bicara, sulit berkata-kata.
Engkau pun mengajarkan kami berdoa.
Surah Thoha ayat 25-28:
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي (25) وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي (26) وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي (27) يَفْقَهُوا قَوْلِي (28
Berkata
Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku
urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti
perkataanku.
mungkin sebab itulah kisahmu selalu menjadi penguat hati Muhammad.
di saat-saat berat, Muhammad mengenangmu ,
Muhammad melirihkan gumam,
“semoga Allah menyayangi saudaraku Musa..
bahkan Allah menetapkan; kau terkisah untuk menguatkan jiwa
hati dan rasa seorang Nabi penutup masa Muhammad SAW.
sungguh ia dicobai lebih menyakitkan dari ini”.
Kisahmu ini terukir Indah dalam al-Quran Hingga hari Kiamat kelak.
Bagaimanakah dengan Lisanmu….?
Cukuplah diam itu menjadikanmu banyak merenung.
Dan tahukah kamu Siapakah Orang yang paling merugi..?
Merekalah orang yang dengan lisannya, melukai hati sesama muslim.
Bersyukurlah jika kamu adalah orang yang tak fasih berbicara,
Dalam diammu, Alhamdulillah
biasa jadi inilah bukti cinta Allah kepadamu.
Dia ingin menyelamatkanmu.
Dari
Sahl bin Saad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang bisa menjamin bisa menjaga lisan yang ada di antara dua
tulang rahangnya dan kemaluan yang ada di antara kedua kakinya maka aku
jamin dia akan masuk surga” (HR Bukhari no 6109).
Sungguh itu adalah suatu hal yang mudah bagi orang-orang yang Allah mudahkan.
Bila engkau tidak dapat berkata yang baik, maka diamlah niscaya itu lebih selamat.
Karenanya, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 6475 dan Muslim)
Al-Imam Al-Hakim rahimahullahu meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallhu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke bibirnya dan berkata:
الصُّمْتُ
إِلاَّ مِنْ خَيْرٍ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذٌ: وَهَلْ نُؤَاخَذُ بِمَا
تَكَلَّمَتْ بِهِ أَلْسِنَتُنَا؟ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم فَخِذَ مُعَاذٍ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُعَاذُ، ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ -أَوْ
مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلَ لَهُ مِنْ ذَلِكَ- وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ
عَلَى مَنَاخِرِهِمْ فِي جَهَنَّمَ إِلاَّ مَا نَطَقَتْ بِهِ
أَلْسِنَتُهُمْ؟ فَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ عَنْ شَرٍّ، قُوْلُوْا خَيْرًا
تَغْنَمُوا وَاسْكُتُوْا عَنْ شَرٍّ تَسْلَمُوْا
“Diamlah kecuali dari perkataan yang baik.” Mu’adz bertanya kepada Rasulullah, “Apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang diucapkan oleh lisan-lisan kita?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul paha Mu’adz, kemudian bersabda, “Wahai Mu’adz, ibumu kehilangan kamu3”, atau beliau mengucapkan kepada Mu’adz apa yang Allah kehendaki dari ucapan. “Bukankah
manusia ditelungkupkan di atas hidung mereka ke dalam jahannam tidak
lain disebabkan karena apa yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka?
Karenanya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia
berkata baik atau ia diam dari berkata yang jelek. Ucapkanlah kebaikan niscaya kalian akan menuai kebaikan dan diamlah dari berkata yang jelek niscaya kalian akan selamat.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/460)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menasihatkan,
“Sepantasnya bagi orang yang ingin mengucapkan satu kata atau satu
kalimat, ia merenungkan dan memikirkan kata/kalimat tersebut dalam
jiwanya sebelum mengucapkannya. Bila memang tampak kemaslahatan dan
kebaikannya maka ia berbicara. Bila tidak, maka sebaiknya ia menahan
lisannya.” (Al-Minhaj, 18/318)
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/339-340) menukilkan ucapan tiga sahabat yang mulia berikut ini:
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu berkata, “Siapa
yang banyak bicaranya akan banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa
yang banyak jatuhnya, akan banyak dosanya. Dan siapa yang banyak dosanya
niscaya neraka lebih pantas baginya.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallhu ‘anhu memegang lisannya dan berkata, “Ini yang akan mengantarkan aku ke neraka.”
Ibnu Mas’ud radhiyallhu ‘anhu berkata,
“Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Dia!
Tidak ada di muka bumi ini yang lebih pantas untuk dipenjara dalam
waktu yang panjang dari pada lisan.”
Firma Allah Surah alhujurat(49) ayat 11-12
49:11.
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum
yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.
49:12.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Celaka dan bahagia ternyata
tak lepas dari bagaimana manusia memanajemen lidahnya. Bila lidah tak
terkendali, dibiarkan berucap sekehendaknya, alamat kesengsaraan akan
segera menjelang. Sebaliknya bila ia terkelola dengan baik, hemat dalam
berkata, dan memilih perkataan yang baik-baik, maka sebuah alamat akan
datangnya banyak kebaikan. Semoga bisa terjaga hingga
yang terucapkan oleh lisan ialah hal yang baik dan berguna ...
sedangkan Allah lebih maha tahu apa yang ada di
hati kita saat lisan kita berucap ..semoga dijadikan dalam kedua2nya
ialah yang baik terasakan oleh hati dan terucapkan oleh lisan dengan
kata yang baik pula tanpa prasangka