Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“[1].
Punya atasan yang ngak bisa marah , selalu senyum itu menentramkan , walau kerjaannya itu perlu mikir (kerjaan orang IT ). Beda dulu ketika saya bekerja di jakarta, ketika saya menangani sebuah proyek, kebetulan atasan saya itu orang cina, ngak bisa senyum babar blas .... tiap ketemu dibiri walaiupun sebenarnya orangnya baik :)
Senyuman itu menular, Ketika kamu bertemu orang dijalan kemudian kamu tersenyum padanya, dia akan tersenyum padamu walaupun kamu tidak kenal, pasti dipikiran orang tersebut dia itu siapa ya ? beda kalau kamu itu marah pada seseorang, apa yang dia ingat adalah kenapa ia marah padaku ?
Menampakkan wajah cerita pada temanmu akan memberika suatu motivasi pada lawan bicara , walapun dia itu sedang dirundung masalah.
Mutiara hadist ini saya dapatkan dari
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA.
Artikel www.muslim.or.id
Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:
- Menampakkan wajah ceria dan berseri-seri ketika bertemu
dengan seorang muslim akan mendapatkan ganjaran pahala seperti pahala
bersedekah[3].
- Keutamaan dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, sebagaimana yang disebutkan oleh sahabat yang mulia, Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarangku untuk menemui beliau sejak aku masuk Islam, dan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memandangku kecuali dalam keadaan tersenyum di hadapanku“[4].
- Menampakkan wajah manis di hadapan seorang muslim akan
meyebabkan hatinya merasa senang dan bahagia, dan melakukan perbuatan
yang menyebabkan bahagianya hati seorang muslim adalah suatu kebaikan
dan keutamaan[5].
- Imam adz-Dzahabi menyebutkan faidah penting sehubungan
dengan masalah ini, ketika beliau mengomentari ucapan Muhammad bin
Nu’man bin Abdussalam, yang mengatakan, “Aku tidak pernah melihat orang
yang lebih tekun beribadah melebihi Yahya bin Hammad[6],
dan aku mengira dia tidak pernah tertawa”. Imam adz-Dzahabi berkata,
“Tertawa yang ringan dan tersenyum lebih utama, dan para ulama yang
tidak pernah melakukannya ada dua macam (hukumnya):